Dear God
Song by: Avenged Sevenfold
Dedicated for: AdriHyo in VongolaIndo
Adriano Constanza (c) Me, Kim Hyo Lee (c) mah dear honeh :">
Song by: Avenged Sevenfold
Dedicated for: AdriHyo in VongolaIndo
Adriano Constanza (c) Me, Kim Hyo Lee (c) mah dear honeh :">
A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love, purpose hard to find
Miles away from those I love, purpose hard to find
Kaki dijejakkan.
Sosok itu memutar kepalanya, mengarahkan pandangan ke belakang. Ke arah riuh hiruk pikuk yang berdenging di telinganya. Ya, orang orang di sana berbahagia. Ya, mereka tersenyum. Ya, mereka tertawa. Mereka mengguratkan euphoria itu di setiap inci paras mereka, di setiap kerut dan kedut yang memenuhi wajah mereka. Tetapi, apakah yang mereka rasakan ketika itu menyelimuti hatinya sendiri? Dia yang menatap dengan ukiran melengkung pahit di wajahnya. Dia yang menatap dengan kedua kristal kaca yang memantulkan ironi kehidupan. Langit, biru, hidup ini manis. Darah, merah, hidup ini pahit dan pedih.
Sosok itu memutar kepalanya, mengarahkan pandangan ke belakang. Ke arah riuh hiruk pikuk yang berdenging di telinganya. Ya, orang orang di sana berbahagia. Ya, mereka tersenyum. Ya, mereka tertawa. Mereka mengguratkan euphoria itu di setiap inci paras mereka, di setiap kerut dan kedut yang memenuhi wajah mereka. Tetapi, apakah yang mereka rasakan ketika itu menyelimuti hatinya sendiri? Dia yang menatap dengan ukiran melengkung pahit di wajahnya. Dia yang menatap dengan kedua kristal kaca yang memantulkan ironi kehidupan. Langit, biru, hidup ini manis. Darah, merah, hidup ini pahit dan pedih.
Karena Matahari tidak lagi tersenyum padanya.
Langit tidak akan pernah membuka matanya lagi.
Dan Kabut akan lenyap. Menghilang ke udara. Eksistensi yang terhapuskan.
Langit tidak akan pernah membuka matanya lagi.
Dan Kabut akan lenyap. Menghilang ke udara. Eksistensi yang terhapuskan.
While I recall all the words you spoke to me
Can’t help but wish that I was there, back where I’d love to be
Can’t help but wish that I was there, back where I’d love to be
“Ya, aku juga mencintaimu.”
“Selamanya.”
“Sampai kapanpun.”
“Kita akan selalu bersama.”
“Aku tidak mau berpisah.”
“Selamanya.”
“Sampai kapanpun.”
“Kita akan selalu bersama.”
“Aku tidak mau berpisah.”
Perlahan, tersentuh permukaan logam dingin yang melingkari jari manisnya itu.
“Siapa orang ini? Bawa pergi.”
“Putra Mahkota akan menjadi Raja.”
“Dia akan menikah.”
Dengan siapa?
“Putra Mahkota akan menjadi Raja.”
“Dia akan menikah.”
Dengan siapa?
Menempatkan satu sentuhan kecil dengan bibirnya pada cincin itu.
“Will you marry me?”
“Ng...tentu saja...aku bersedia.”
“Ng...tentu saja...aku bersedia.”
Lalu apa fakta yang kau paparkan saat ini?
Tertawa dingin. Belum mengalihkan perhatiannya dari pesta pora rakyat yang begitu meriah. Jelata yang berbahagia karena boneka mereka telah kembali. Karena Pangeran—Putra Mahkota yang hilang telah ditemukan kembali, dan kini dia nampak melangkah bersama dengan sang putri. Dengan tunangannya—yang diakui secara resmi di hadapan hukum. Menyenangkan hati para naif itu dengan pernikahan sakral keluarga kerajaan. Bukan penyimpangan. Bukan perjanjian terlarang antara dua insan yang terjalin di tengah pelarian. Pemuasan hati kecil mereka yang tamak. Walau cinta tak tercermin dari kedua insan yang tangannya terpaut itu.
Tertawa dingin. Belum mengalihkan perhatiannya dari pesta pora rakyat yang begitu meriah. Jelata yang berbahagia karena boneka mereka telah kembali. Karena Pangeran—Putra Mahkota yang hilang telah ditemukan kembali, dan kini dia nampak melangkah bersama dengan sang putri. Dengan tunangannya—yang diakui secara resmi di hadapan hukum. Menyenangkan hati para naif itu dengan pernikahan sakral keluarga kerajaan. Bukan penyimpangan. Bukan perjanjian terlarang antara dua insan yang terjalin di tengah pelarian. Pemuasan hati kecil mereka yang tamak. Walau cinta tak tercermin dari kedua insan yang tangannya terpaut itu.
Benarkah? Nyatakah tak ada cinta di sana?
Waktu. Putar kembali. Semuanya. Sedia kala. Tempat itu. Saat itu.
Dear God, the only thing I ask of you is to hold her
When I’m not around, when I’m much too far away
Waktu. Putar kembali. Semuanya. Sedia kala. Tempat itu. Saat itu.
Dear God, the only thing I ask of you is to hold her
When I’m not around, when I’m much too far away
Tapi apa yang dapat dia lakukan? Hanya menatap. Menonton. Terdiam.
Padahal, ya, selalu hanya satu hal yang dia inginkan. Senyum itu. Sinar itu. Tolong, buat dia selalu tersenyum. Walau mungkin dirinya tidak dapat melihat senyum itu, walau senyum itu bukan ditujukan untuknya. Asalkan dia tersenyum, asalkan dia bahagia, tidak apa-apa. Jangan. Jangan biarkan tangisnya tertumpah di saat pundaknya tidak ada untuk orang itu.
Tetapi...
Padahal, ya, selalu hanya satu hal yang dia inginkan. Senyum itu. Sinar itu. Tolong, buat dia selalu tersenyum. Walau mungkin dirinya tidak dapat melihat senyum itu, walau senyum itu bukan ditujukan untuknya. Asalkan dia tersenyum, asalkan dia bahagia, tidak apa-apa. Jangan. Jangan biarkan tangisnya tertumpah di saat pundaknya tidak ada untuk orang itu.
Tetapi...
I left her when I found her, and now I wish I’d stayed
Cause I’m lonely, I’m tired, I’m missing you again...
Once again...
Sungguhkah demikian?
Naif.
Meniadakan keinginan sendiri.
Bukan itu yang dia inginkan.
Dia hanya ingin kembali.
Kekosongan di hatinya telah diisi oleh cahaya itu. Gelap, kekelaman tak berdasar yang menjadi ruang di hatinya itu tidak lagi hampa. Semua karena keberadaan itu, karena eksistensinya. Tetapi pendosa bodoh ini meninggalkannya. Dirinya yang menemukan, yang mendapatkan apa yang selama ini dicarinya, justru melepas dan meninggalkannya di belakang.
Maka dia berharap, bahwa ketiak dia kembali, dia kan diterima dengan tangan terbuka.
Sungguh konyol.
Melepaskan pandangan terakhir, membalikkan badannya. Perlahan, tubuh itu lenyap bagaikan kabut yang diterbangkan angin, meninggalkan memori dan bisikan di belakang.
“Ti amo.”
Bocah berambut abu-abu tua itu tersentak, matanya melebar mendengar lirih yang tak lagi asing itu.
Tetapi dia tidak pernah menemukan senyumnya, dan pasangan mata yang begitu dicintainya itu. Yang dikatakan terkutuk bahkan oleh pemiliknya sendiri, tetapi baginya adalah sumber dari kebahagiaan pertama yang pernah diraihnya sepanjang hidupnya ini.
“Adri...”
Dia tersedak.
“Kenapa kamu selalu bersembunyi? Bodoh.”
Gadis di sampingnya terdiam, begitu juga para petinggi kerajaan yang menyaksikan mereka.
“H—hyo?”
Bocah itu tidak menjawab.
Tetapi air matanya mengalir. Ingatan kedua tangan itu, ingatan akan bagaimana kerapuhan yang kokoh namun hangat itu meraihnya kini kembali lagi. Bisikan halus yang menentramkan hatinya itu pun telah kembali lagi. Menguak apa yang tertimbun. Hanya dengan kedua patah kata.
Naif.
Meniadakan keinginan sendiri.
Bukan itu yang dia inginkan.
Dia hanya ingin kembali.
Kekosongan di hatinya telah diisi oleh cahaya itu. Gelap, kekelaman tak berdasar yang menjadi ruang di hatinya itu tidak lagi hampa. Semua karena keberadaan itu, karena eksistensinya. Tetapi pendosa bodoh ini meninggalkannya. Dirinya yang menemukan, yang mendapatkan apa yang selama ini dicarinya, justru melepas dan meninggalkannya di belakang.
Maka dia berharap, bahwa ketiak dia kembali, dia kan diterima dengan tangan terbuka.
Sungguh konyol.
Melepaskan pandangan terakhir, membalikkan badannya. Perlahan, tubuh itu lenyap bagaikan kabut yang diterbangkan angin, meninggalkan memori dan bisikan di belakang.
“Ti amo.”
Bocah berambut abu-abu tua itu tersentak, matanya melebar mendengar lirih yang tak lagi asing itu.
Tetapi dia tidak pernah menemukan senyumnya, dan pasangan mata yang begitu dicintainya itu. Yang dikatakan terkutuk bahkan oleh pemiliknya sendiri, tetapi baginya adalah sumber dari kebahagiaan pertama yang pernah diraihnya sepanjang hidupnya ini.
“Adri...”
Dia tersedak.
“Kenapa kamu selalu bersembunyi? Bodoh.”
Gadis di sampingnya terdiam, begitu juga para petinggi kerajaan yang menyaksikan mereka.
“H—hyo?”
Bocah itu tidak menjawab.
Tetapi air matanya mengalir. Ingatan kedua tangan itu, ingatan akan bagaimana kerapuhan yang kokoh namun hangat itu meraihnya kini kembali lagi. Bisikan halus yang menentramkan hatinya itu pun telah kembali lagi. Menguak apa yang tertimbun. Hanya dengan kedua patah kata.
“Aku mencintaimu.”
”Selamanya, bukan?”
“Selamanya.”
”Selamanya, bukan?”
“Selamanya.”
OH LOOOL UDAH LAMA GUE GAK NULIS PENPIK BEGINI ASDFGHJKL *guling* Bad work is bad, I knoeeee *tusuk2 jari*